Catatan Perjalanan 6 Hari Keliling Sumbar : Eksplore Sawahlunto
image of 1140x530

Dari Masjid Nurul Iman, kami beranjak menuju Museum Kereta Api Sawahlunto yang jaraknya hanya sekitar 100 meter.

Hari itu, kami menjadi pengunjung yang pertama, belum ada pengunjung lainnya, diluar museum nampak para pengurus museum sedang bekerja bakti membersihkan sampah – sampah yang ada.

“selamat datang di Museum Kereta Api Sawahlunto, tiket masuknya Rp. 3.000 saja per orang” ujar seorang yang bertugas menarik retribusi tiket masuk kepada kami.

Museum Kereta Api Sawahlunto dahulunya adalah stasiun kereta api yang dibangun oleh Kolonial Belanda pada tahun 1918. Bangunan yang hingga saat ini masih kokoh ini telah menjadi saksi bisu kekejaman Kolonial Belanda dalam mengeksploitasi “emas hitam” dari perut bumi Sawahlunto.

Salah satu bagian dalam dari Museum Kereta Api Sawahlunto
Salah satu bagian dalam dari Museum Kereta Api Sawahlunto

Pada kunjungan saya yang pertama di museum ini pada bulan Desember 2015 yang lalu, Mak Itam hanya diam membisu dibalik jeruji besi yang berada di samping museum. Namun, saat ini dengan segala upaya yang telah dilakukan akhirnya Mak Itam kembali menjerit. Wisatawan kembali dapat bernostalgia bersama Mak Itam.

Saat sedang asik melihat Mak Itam dari dekat, hujan deras membasahi Sawahlunto, kami terjebak di dalam dipo untungnya ada beberapa mekanik disini yang bisa diajak ngobrol salah satunya Pak Nazarudin yang akrab disapa Pak Naz

Foto bersama Mak Itam
Foto bersama Mak Itam

“rasanya senang sekali bisa mendengar Mak Itam menjerit kembali setelah sekian lama ia rusak” kata Pak Naz

Hujan telah reda kami segera melanjutkan eskplore ini ke destinasi selanjutnya yaitu Gedung Info Box dan Lobang Tambang Mbah Soero

Tiket masuk Gedung Info Box dan Lobang Tambang Mbah Soero adalah Rp 8.000 per orang,  di dalam gedung Info Box  kita bisa melihat berbagai galeri mengenai sejarah pertambangan di Sawahlunto. Usai membaca semua info yang tersaji di dalam gedung dua lantai ini, kami segera ingin memasuki Lobang Tambang Mbah Soero yang penuh sejarah itu. Namun, sebelumnya kami diharuskan menggunakan  peralatan pengaman yang disediakan seperti helm dan safety shoes.

Gedung Info Box dan Lobang Tambang Mbah Soero yang menjadi satu bagian
Gedung Info Box dan Lobang Tambang Mbah Soero yang menjadi satu bagian

Untuk masuk ke dalam Lobang Tambah Mbah Soero setiap pengunjung wajib didampingi pemandu. Selama di dalam lobang pemandu akan menceritakan sejarah mengenai lobang ini.

Lobang Tambang Mbah Soero merupakan lobang tambang pertama di Lembah Soegar yang dibuka pada tahun 1898. Nama Mbah Soero yang melekat pada lobang tambang ini karena dulunya disini bertugas seorang mandor bernama Soero. Mandor Soero dikenal sebagai pekerja keras, tegas dan taat beragama, ia disegani oleh para buruh dan orang – orang disekitarnya.

Menelusuri lobang tambang Mbah Soero
Menelusuri lobang tambang Mbah Soero

“nah, dilubang ini pada saat dilakukan penggalian kembali, ditemukan banyak tulang belulang” cerita si pemandu, cerita yang membuat bulu roma berdiri.

Sebenarnya batu bara yang berada di Lobang Mbah Soero ini merupakan batu bara dengan kualitas sangat baik. Namun, karena tingginya rembesan air, Lobang Mbah Soero ditutup dari aktivitas pertambangan pada tahun 1930

Mengingat tingginya nilai sejarah lobang tambang ini, maka pada tahun 2007 lobang tambang ini dibuka sebagai obyek wisata. Menjadikan lobang tambang ini sebagai obyek wisata bukanlah perkara mudah sebab air yang menggenangi lobang sudah sangat tinggi. Butuh 15 orang pekerja untuk memompa air keluar dari lobang. Dibutuhkan 20 hari untuk mengeringkan air di Lobang Tambang Mbah Soero ini.

Akhirnya tibalah kami di titik terakhir dari lobang tambang Mbah Soero yang dibuka untuk wisata, sebenarnya lobang ini memiliki panjang keseluruhan sekitar 1 km namun yang bisa dimasuki hanya 186 meter saja.

Kami telah keluar dari Lobang Mbah Soero, setelah itu lanjut lagi ke Museum Goedang Ransoem yang jaraknya sangat dekat, mungkin belum ada tiga kedipan mata sudah sampai.

Museum Goedang Ransoem dahulunya merupakan dapur umum yang dibangun oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1918 untuk mensuplai makanan bagi para pekerja tambang batu bara dan pasien rumah sakit.

Museum Goedang Ransoem Sawahlunto
Museum Goedang Ransoem Sawahlunto

Kawasan Dapur umum ini dilengkapi dua buah gudang besar dan power stoom (tungku pembakaran) dengan mempekerjakan kurang lebi h100 orang karyawan. Dapur umum memasak lebih kurang 65 pikul setiap hari atau setara dengan 3900 kg nasi untuk para pekerja tambang batubara, pasien rumah sakit dan keluarga pekerja tambang.

Di dalam museum kita bisa melihat berbagai perlengkapan yang digunakan untuk memasak dalam jumlah besar oleh karena itu ukuran alat masaknya pun serba besar seperti periuk yang digunakan memasak nasi memiliki diameter lebih dari 1 meter, badan periuk berukuran 60 cm hingga 62 cm dengan ketebalan 1,2 cm. Pada bagian samping masing – masing periuk terdapat tiang yang dilengkapi dengan sistem katrol dan sebuah pemutar/engkol untuk rantai saat mengangkat atau menurunkan tutup dan langsang ketika akan dan selesai memasak.

Periuk - periuk berukuran besar
Periuk – periuk berukuran besar

Selain peralatan masak, di museum ini juga tersajikan beberapa contoh menu masakan yang disediakan bagi para pekerja tambang.

Replika menu - menu makanan yang disajikan untuk pekerja tambang
Replika menu – menu makanan yang disajikan untuk pekerja tambang

Puas mengelilingi seisi museum, sebelum keluar saya sempat berbincang kepada salah satu petugas museum, lalu karena saya tertarik dengan buku – buku yang ada di museum ini, saya pun membeli dua buku, buku yang pertama mengisahkan tentang de Greve, geolog muda asal Belanda yang menemukan batubara di Sawahlunto, buku yang kedua menceritakan tentang pahit getirnya menjadi “urang rantai”

About Author

client-photo-1
M. Catur Nugraha
Masih bekerja sebagai Naval Architect Engineer di salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konstruksi bangunan lepas pantai sejak tahun 2012. Kecintaan kepada kampung halamannya membuat ia memutuskan untuk mendirikan Jelajah Sumbar dengan tujuan memperkenalkan keindahan Bumi Ranah Minang ke khalayak ramai dan mengajaknya untuk berkunjung ke Sumbar. Ia sangat menyukai traveling. Perjalanan yang paling ia senangi antara lain mendaki gunung, trekking ke air terjun, dan berkemah di pulau – pulau kecil. Ia juga gemar menuliskan cerita perjalanannya dan memotret obyek yang ditemuinya. Cita – citanya : menjadikan Sumatera Barat dan Wisata Padang sebagai salah satu destinasi pilihan favorit bagi wisatawan lokal maupun wisatawan Internasional.

Comments

Leave a Reply

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.