Petungkriyono, Serpihan Surga yang Terserak di Bumi Legenda Batik Nusantara

Kabupaten Pekalongan dikenal dengan batiknya, bahkan ia disebut sebagai Bumi Legenda Batik Nusantara. Namun, Kabupaten yang  beribukota di Kajen ini tidak hanya sebatas batik saja. Tahukah anda kalau di Kabupaten Pekalongan punya sebuah kawasan berupa hutan raya yang masih sangat terjaga keasriannya?

Adalah Petungkriyono, nama kawasan yang saya maksud. Petungkriyono merupakan nama salah satu kecamatan di Kabupaten Pekalongan. Pada awal Agustus 2017, secara mengejutkan hastag #PesonaPetungkriyono sempat menjadi trending twitter. Lalu apa yang istimewa disini?

Sekilas Tentang Petungkriyono

Petungkriyono berjarak sekitar 30 Km dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Pekalongan. Bentangan alam di kecamatan ini berupa pegunungan dimana sebagian besarnya adalah hutan seluas 5.189 Ha. Luas pemukimannya hanya 119 ha atau sekitar 16% dari luas keseluruhan.

Nama Petung sendiri diambil dari seorang rakai dari masa Syailendra yang memprakarsai hutan ini, yaitu Rakai Petung. Jadi hutan yang ada di Petungkriyono ini usianya sudah lebih dari ratusan tahun!

How to Get There?

Dari arah Jakarta, Pekalongan dapat ditempuh dengan menggunakan bus atau kereta api yang tiketnya bisa anda pesan melalui tiket.com. Dengan alasan efisiensi waktu saya lebih menyarankan naik kereta api. Dari Stasiun Pekalongan dilanjutkan dengan naik bus ukuran sedang atau pesan ojek online ke arah Terminal Pekalongan. Dari Terminal Pekalongan selanjutnya naik bus sedang jurusan Doro, turun di Pasar Doro.

Tiba di Pasar Doro anda bisa menghubungi penyedia jasa Anggun Paris (Angkutan Pegunungan dan Pariwisata) yaitu berupa mobil bak terbuka yang didesain sedemikian rupa sehingga nyaman untuk digunakan berwisata. Kapasitas maksimal Anggun Paris ini 15 orang dan anda bisa menyewanya seharian dengan merogoh kocek Rp 500.000

Saatnya Ekplore Petungkriyono

Saya mengunjungi Petungkriyono di awal Agustus yang kering. Perjalanan saya menuju Pekalongan dengan kereta api terasa membosankan. Sepanjang kiri kanan jalur kereta hanyalah hamparan sawah yang baru saja dipanen.

Tepat 6 jam kereta api yang membawa saya tiba di Stasiun Pekalongan. Duduk dibangku kereta api yang berbentuk hampir 90 derajat membuat saya lelah dan ingin beristirahat semalam disini. Keesokan harinya saya akan mengeksplore Petungkriyono, sebuah nama kawasan yang saya temukan secara tak sengaja di dunia maya.

Saya tidak sendirian saat menuju Petungkriyono. Saya ditemani oleh teman – teman lain sesama pecinta blog. Dengan bus pariwisata yang disewa, kami diantar menuju Pasar Doro. Dari Pasar Doro kami harus transit dan berganti dengan Anggun Paris. Setelah semua peserta siap di dalam Anggun Paris, kami pun memulai perjalanan yang sesungguhnya.

Pintu Gerbang Petungkriyono

Setelah menempuh 5,6 Km perjalanan dari Pasar Doro. Kami tiba di Pintu Gerbang Petungkriyono. Kedatangan kami disambut oleh seekor Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang terbang memutar – mutar tepat diatas kami. Belakangan saya ketahui bahwa Petungkriyono adalah rumah bagi Elang Jawa, hal ini mengingatkan saya dengan kawasan Cikaniki yang berada dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dimana Elang Jawa juga masih mudah ditemukan disana. Sepertinya birding atau birdwatching bisa jadi kegiatan menarik disini.

Curug Sibedug

6,4 Km dari Pintu Gerbang Petungkriyono, kami sampai di Objek Wisata Curug Sibedug. Kalau biasanya kita harus trekking terlebih dahulu untuk melihat air terjun tidak halnya dengan Curug Sibedug. Curug ini berada persis di pinggir jalan raya Petungkriyono.

Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 20 meter dengan air terjun sebanyak 2 buah, dikala musim penghujan air terjun bisa menjadi 3 buah.

Curug Sibedug di saat musim kemarau

Nama Sibedug yang digunakan pada air terjun ini karena konon katanya di tiap malam Jum’at Kliwon sering terdengar suara tabuhan layaknya orang yang sedang memukul bedug. Berani datang membuktikan?

Jembatan Sipingit dan Sungai Welo

Jembatan Sipingit merupakan jembatan yang teramat penting keberadaannya bagi masyarakat Petungkriyono karena jembatan ini menghubungkan jalan yang terpisahkan oleh Sungai Welo.

Aliran Sungai Welo yang mengalir di bawah Jembatan Sipingit

Biasanya wisatawan berhenti disini untuk mengambil foto atau sekedar bermain air di aliran Sungai Welo yang sangat jernih. Bagi anda yang tidak pandai berenang tak perlu takut karena arusnya tidak begitu deras dan kedalaman airnya dangkal jadi sangat aman. Meski begitu anda tetap harus berhati – hati.

Welo Asri

Hanya sepelemparan batu dari Jembatan Sipingit, kami tiba di Welo Asri. Objek wisata yang satu ini menyuguhkan berbagai aktivitas yang cukup menantang adrenaline diantaranya river tubing, river tracking, dan body rafting. Untuk alasan keselamatan saat melakukan aktivitas ini, anda harus didampingi oleh petugas.

Bagi yang tidak punya cukup keberanian untuk melakukan kegiatan di air, anda bisa menikmati Welo Asri dengan menaiki viewing platform yang memiliki spot – spot menarik untuk mengambil foto. Atau bagi pecinta wildlife watching disini anda akan dengan mudah menemukan kawanan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus auratus) yang menggelantung dari pohon satu ke pohon lainnya di sekitar Welo Asri. Bahkan jika beruntung anda juga bisa menemukan Owa Jawa (Hylobates moloch), primata endemik Jawa yang populasinya sudah sangat memprihatinkan.

Pemandangan lanskap sungai yang diapit oleh hutan, dilihat dari gardu pandang Welo Asri

 

Welo Asri

 

Rumah pohon yang juga bisa digunakan untuk melihat pemandangan lebih luas lagi

 

Sekelompok Lutung Jawa hinggap di pohon sekitar Welo Asri

Curug Lawe

Seperti namanya, sudah barang tentu yang disuguhkan ialah air terjun. Namun dibutuhan tenaga dan waktu yang ekstra untuk menemukan Curug Lawe. Dari pintu masuknya, anda harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam.

Bagi yang tidak suka berjalan terlalu lama, anda bisa bermain – main di area perkemahan yang tak jauh dari pintu masuk Curug Lawe. Disana anda akan melihat hutan – hutan pinus yang telah dihiasi oleh payung – payung hias. Selain itu banyak tergantung kantung buaian atau lebih dikenal dengan sebutan hammock. Anda bisa bersantai – santai disini sembari menghirup udara hutan pinus yang menyegarkan.

Bumi perkemahan di area Curug Lawe

 

Payung – payung hias menggantung di pepohonan pinus

Dan Ini dia Primadona di Petungkriyono, Curug Bajing!

 Hari semakin sore namun sopir Anggun Paris yang kami tumpangi masih semangat ketika mengantarkan kami ke destinasi terakhir yaitu Curug Bajing.

Curug Bajing

Curug Bajing, meski namanya kurang indah dan identik dengan kejahatan namun curug yang berada di Desa Tlogopakis ini merupakan primadona di Petungkriyono.

Perjalanan melelahkan usai menempuh jalan sejauh 23,4 Km dari gerbang Petungkriyono dengan kondisi jalan yang masih kurang baik rasanya akan terbayar.

Untuk menuju Curug Bajing sangat mudah. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mengelola curug ini telah membuat jalur trekking yang mudah dan nyaman dilalui oleh wisatawan. Di tengah jalur trekking ini saya sudah bisa melihat air terjun dengan ukuran besar, membuat saya lebih semangat lagi untuk mempercepat langkah kaki.

Curug Bajing terlihat dari kejauhan

 

Salah satu spot foto di Curug Bajing

Saya pun tiba di sebuah jembatan yang terbuat dari bambu, disini banyak rekan saya yang menyudahi perjalanan karena memang view-nya sudah menarik dari sini. Saya tetap melanjutkan langkah saya hingga akhirnya saya tiba di kaki air terjun, disana saya ditemani oleh dua pemandu asli Petungkriyono. Pemandu itu bercerita cukup banyak mengenai Curug Bajing.

Jembatan bambu yang menjadi spot favorit wisatawan yang mengunjungi Curug Bajing

Diceritakan bahwa nama Bajing yang melekat pada air terjun ini karena dulunya gunung yang berada di sebelah kanan air terjun adalah tempat berkumpulnya para bajing yang mencuri hasil pertanian atau perkebunan milik warga sekitar. Namun bajing – bajing tersebut kini tinggalah cerita.

Oh ya, air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 75 meter dengan debit air yang sangat deras meski pada saat musim kemarau.

Sepertinya kunjungan saya satu hari di Petungkriyono belum terpuaskan. Masih banyak lagi objek wisata yang bisa dikunjungi seperti Curug Muncar, Puncak Kendalasido, Puncak Tugu dan Gunung Rojogembangan. Tapi biarlah, saya sisakan itu agar ada alasan lagi untuk kembali ke Petungkriyono. Rasanya tak salah jika saya mengatakan jika Petungkriyono adalah serpihan surga yang terserak di Bumi Legenda Batik Nusantara. Dan masih banyak yang belum mengetahuinya, mereka harus tahu itu!

About Author

client-photo-1
M. Catur Nugraha
Masih bekerja sebagai Naval Architect Engineer di salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konstruksi bangunan lepas pantai sejak tahun 2012. Kecintaan kepada kampung halamannya membuat ia memutuskan untuk mendirikan Jelajah Sumbar dengan tujuan memperkenalkan keindahan Bumi Ranah Minang ke khalayak ramai dan mengajaknya untuk berkunjung ke Sumbar. Ia sangat menyukai traveling. Perjalanan yang paling ia senangi antara lain mendaki gunung, trekking ke air terjun, dan berkemah di pulau – pulau kecil. Ia juga gemar menuliskan cerita perjalanannya dan memotret obyek yang ditemuinya. Cita – citanya : menjadikan Sumatera Barat dan Wisata Padang sebagai salah satu destinasi pilihan favorit bagi wisatawan lokal maupun wisatawan Internasional.

Comments

Leave a Reply

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.