Kembali Mengunjungi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Bagi Para Jiwa pendaki

Semenjak istri saya mengandung, saya tak pernah lagi mendaki gunung. Terakhir kalinya mendaki bulan Maret 2017, ketika itu saya bersama pemenang d’Traveler of the year 2016 mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Seoraksan National Park di Korea Selatan. Ceritanya ada di link bawah ini ya, diklik dong

Baca Juga : Seoraksan National Park 

Persiapan
Di tengah kesibukan pekerjaan, tiba – tiba saja saya menerima email berisikan rencana mendaki Gunung Gede. Sama seperti 2 tahun lalu, yang memprakarsai ide tersebut ialah Andrew sang Mechanical Engineer yang dulu merupakan teman satu fakultas saya di ITS.

Ajakan tersebut berhasil mengumpulkan 20 orang untuk ikut serta yang beberapa diantaranya ialah rekan yang sama saat pendakian Gunung Gede 2 tahun lalu.

Baca juga dong kaka : Ketika Pekerja Kantoran Mendaki Gunung Gede

Beberapa minggu sebelum pendakian kami telah mempersiapkan semuanya mulai dari Simaksi (Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi), transportasi, alat dan perlengkapan mendaki, dan tentunya logistik.

Perjalanan Menuju Gunung Putri
Untuk mendaki Gunung Gede terdapat tiga titik awal pendakian yaitu Salabintana, Cibodas dan Gunung Putri. Kami lebih memilih melewati jalur Gunung Putri karena sebelum mencapai puncak, kami berencana bermalam di Alun – alun Surya Kencana, sebuah lembah Indah diantara Gunung Gede dan Gunung Gemuruh yang dihiasi dengan bunga – bunga edelweiss.

Usai jam kerja, kami berkumpul di lobby Alamanda Tower. Kami telah siap dengan segala perlengkapan dan logistik untuk kami bawa.

Tepat jam 8 malam, kami mulai berangkat menuju Gunung Putri dengan bus medium yang kami sewa. Untuk alasan efisiensi kami memang lebih memilih menyewa bus daripada naik bus umum, meski harga yang harus dibayar lebih mahal tentunya.

Perjalanan tidak sepenuhnya mulus, tepat di seberang Masjid Atta’awun, bus yang kami tumpangi mengalami mogok. Sopir dan kondektur berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan kembali busnya. Setelah 30 menit, akhirnya kami dapat melanjutkan perjalanan.

Kami tiba di Gunung Putri sekitar jam 1 malam. Suasana Gunung Putri malam itu ramai oleh para pendaki yang datang dari berbagai daerah. Mereka istirahat seadanya, menggelar matras di dalam ataupun di luar warung hanya untuk sekedar merebahkan badan. Beruntung bagi kami karena bisa istirahat di sebuah pondok yang ada di Kebun Percobaan Gunung Putri.

Kebun Percobaan Gunung Putri yang ditanami teh dan kopi

Pendakian Menuju Alun – alun Surya Kencana
Kami mendaki Gunung Gede di November yang basah. Di Jakarta saja hampir tiap hari hujan turun membasahi hiruk pikuk yang terjadi di kota yang katanya keras itu. Terlebih di kawasan Gunung Gede?

Pagi itu cuaca tidak begitu cerah, langit biru terhalangi oleh awan – awan tipis yang menggantung meski tanpa ada gumpalan – gumpalan awan berwarna kelabu. “Semoga saja cuaca ini terus bertahan selama pendakian ini” gumam saya dalam hati.

Usai sarapan dengan nasi goreng dan teh manis hangat, kami mulai bersiap untuk mendaki. Setelah semuanya siap, kami menuju pos lapor.

Memulai pendakian

“simaksinya oke, perlengkapan dan logistik lengkap, selamat mendaki” kata petugas dengan aksen Sunda-nya yang kental.

“tur, kamu paling depan ya, giring teman – teman” kata Mas Nanda

“ndeh, badan lah gapuak kini dimintak pulo jadi paling depan” kata saya dalam hati

Berat sekali rasanya, saya sudah lama tidak mendaki, jarang berolahraga, dan bentuk tubuh yang semakin berisi. Baru beberapa langkah, nafas sudah terengah – engah.

1 jam kemudian kami telah tiba di Pintu Rimba yang merupakan batas antara perkebunan dengan wilayah hutan. Kami istirahat sejenak disini. Sejenak melepaskan tas keril dengan berat sekitar 15 Kg itu.

Tiba di Pintu Rimba

Mulai dari pintu rimba ini kami terpecah menjadi beberapa kelompok. Depan, tengah, dan belakang. Menyesuaikan dengan kemampuan kami masing – masing. Saya sendiri berada di kelompok tengah.

Hanya 20 menit dari Pintu Rimba kami tiba di Pos Pertama Tanah Merah yang berada di ketinggian 1850 mdpl. Disini kembali istirahat sejenak. Saya, Mas Nanda, Andrew, Yuli, Gilang mengenang pendakian kami 2 tahun yang lalu.

Tiba di Pos 1

Lepas dari Pos Tanah Merah, kami disuguhkan trek yang semakin terjal dan menanjak. 1,5 jam perjalanan kami tiba di Pos Legok Lenca yang berada di ketinggian 2150 mdpl.

Istirahat di Pos Legok Lenca

Pos selanjutnya ialah Buntut Lutung (2300 mdpl), Lawang Saketeng (2500 mdpl) dan Simpang Maleber (2625 mdpl). Di Lawang Saketeng kami disambut hujan, awalnya kami kira hanya kabut yang turun seperti yang kami alami di pos sebelumnya namun ternyata hujan semakin deras. Untungnya kami sudah menyiapkan jas hujan masing – masing.

Menjelang pos Simpang Maleber hujan mereda, kami pun singgah disana untuk istirahat sekaligus membeli gorengan untuk mengganjal perut.

Selepas Pos Maleber jalur mulai landai, artinya sebentar lagi kami akan sampai di Alun – alun Surya Kencana. Dan akhirnya kami tiba di Alun – alun Surya Kencana Timur. Kami istirahat di sebuah kedai yang didirikan menggunakan terpal yang disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk berjualan serta menjadi shelter bagi pendaki untuk istirahat.

Kami makan siang dengan bekal yang kami bawa masing – masing. Ya, sebelum memulai pendakian kami telah membeli bekal berupa nasi bungkus dengan lauk ayam goreng dan tiap orangnya diwajibkan membawa bekal tersebut.

Usai makan siang kami menunggu rekan – rekan kami yang dibelakang. 20 menit menunggu, belum ada satupun kawan kami yang tiba, sementara itu karena berdiam diri, rasa dingin mulai menjalar. Kami putuskan untuk berjalan kembali menuju Alun – alun Suryakencana Barat dimana kami akan mendirikan tenda dan istirahat.

Suryakencana Saya Kembali!
Setelah 2 tahun, akhirnya saya kembali menjejakan kaki di Alun – alun Suryakencana. Sayangnya musim berbunga edelweiss sudah usai ditambah lagi cuaca yang masih belum bersahabat.

Biasanya ketika tiba disini saya melangkahkan kaki lebih cepat karena jalurnya yang landau, namun kali ini angin berhembus kencang dari arah barat menjadi penghalang. Kaki terasa amat berat karena sepatu dan kaos kaki yang basah, membuat telapak kaki saya keram.

Dengan semangat dari teman – teman, saya terus melangkah melawan rasa keram hingga akhirnya kami berjumpa dengan rombongan yang paling depan. Beberapa tenda telah dibangun oleh mereka, lega sekali rasanya. Namun saya belum waktunya istirahat karena harus mendirikan tenda yang saya bawa terlebih dahulu.

Mendrikan tenda bersama

1 jam kemudian, terlihat rombongan belakang yang melambai – lambaikan tangan ke arah kami. Alhamdulillah, semua team telah komplit dan semuanya masih dalam kondisi baik. Tidak ada yang sakit ataupun cedera.

Semua tenda telah berdiri, setelah itu kami membuat shelter dari fly sheet yang kami bawa. Shelter ini gunanya sebagai tempat berkumpul dan memasak.

Sore hari cuaca mulai bersahabat, warna jingga dari matahari yang terbenam menambah cantik suasana Suryakencana.

Cuaca bersabahat berlangsung hingga malam hari, kami berkumpul di shelter, memasak dan makan bersama, saling bercerita, bercengkerama hingga rasa kantuk yang menghentikan kami. Dan kami pun masuk ke dalam tenda masing – masing.

Pagi hari, dingin masih berusaha mencengkeram erat tubuh. Rasanya masih ingin berada di dalam kantung tidur, namun suara rekan – rekan yang telah aktif diluar tenda berhasil membangkitkan semangat. “saya harus kalahkan rasa dingin ini”

Para wanita tangguh telah memasak mie rebus telur, sop jagung, nugget, chicken wings dan lain – lain. Kini saatnya saya yang memasuk untuk teman – teman. Pagi itu saya memasak sandwich tuna mayo with telur dadar, keren kan? Dan hasilnya teman – teman dengan lahap menyantapnya.

Kalau di gunung saya jago masak lho

Matahari semakin tinggi, saatnya kami membereskan kembali tenda serta barang bawaan dan tak lupa mengumpulkan sampah sisa bungkus makanan dan minuman. Karena kami sadar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak dan gunung bukanlah tempat sampah.

Beres – beres

Summit Attack!
Selamat tinggal Suryakencana. Kini saatnya kami menuju ke Puncak Gede. Jika berjalan dengan normal, dalam waktu 30 menit puncak Gunung Gede dapat digapai.

Pemanasan sebelum summit attack

Di pertengahan perjalanan menuju puncak salah satu rekan kami mengalami mual. Disini, kami kekompakan kami kembali diuji. Kami menunggu hingga ia merasa pulih, memberikan semangat yang bisa menjadi sugesti bagi dirinya untuk mengalahkan rasa sakit itu. Dan, berhasil!

1,5 jam kemudian kami tiba di Puncak Gunung Gede. Senang sekali rasanya bisa menjejakan kaki di gunung tertinggi ketiga di Jawa Barat ini. Bagi saya, ini adalah yang ketujuh kalinya. Bahagianya tak dapat disebut. Dan semuanya tak lain dan tak bukan ialah atas izin dari-Nya.
Ketika sedang asik menikmati suasana Puncak Gunung Gede, hujan turun kembali. Kami membuat shelter dadakan yang sekiranya cukup untuk melindugi diri dari hujan.

Tiba di Puncak Gunung Gede

 

Meneduhkan diri di shelter dadakan

Hujan baru reda 1 jam kemudian. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan turun melewati Jalur Cibodas.

Perjalanan Turun Ditemani Hujan
Kami telah meninggalkan kawasan puncak Gunung Gede yang berbatu itu, dan kini kami mulai memasuki wilayah hutan dimulai dari vegetasi cantigi yang nantinya berakhir di sebuah tanjakan legendaris bernama Tanjakan Setan.

Setelah melewati Tanjakan Setan, hujan kembali mengguyur Gunung Gede dan sekitarnya, kali ini lebih deras lagi yang membuat kami terpaksa berhenti sejenak untuk kembali mengenakan jas hujan.

Kami berhasil tiba di Kandang Badak, rencananya kami akan istirahat untuk makan siang disini. Sayangnya hujan yang mengguyur semakin deras yang memaksa kami untuk kembali melanjutkan perjalanan karena jika hanya berdiam, tubuh akan kedinginan.

Pos Kandang Batu terlewati. Setelah Kandang Batu ada shelter Air Panas, disini saya istirahat sejenak sembari merilekskan kaki yang kembali diserang rasa keram.

Tebing dimana air panas mengalir berhasil saya lewati dan saya tertinggal dari rombongan depan. Saya kembali istirahat, menunggu rekan – rekan yang ada di belakang tiba.

Tak lama menunggu datanglah Mas Viktor, Indri, Yuhe, dan lainnya. Dari sini Mas Viktor membawa tas keril saya yang teramat berat dan saya tak sanggup lagi membawanya. Benar – benar pendakian yang amat berat bagi saya.

Jarak antara pos air panas dengan pos Payangcangan Kuda cukup jauh dan diselingi oleh 4 pos kecil. Tanpa pos – pos kecil ini perjalanan menuju Pos Payangcangan Kuda bisa buat frustasi. Kehadiran pos ini selain untuk istirahat juga bisa membuat sugesti bahwa kita akan segera sampai di tujuan.

Saya semakin tertatih – tatih melangkah. Mas Viktor dengan cekatan mengeluarkan botol berisikan cairan berwarna merah yang katanya bisa meredakan rasa nyeri dan keram. Ia siramkan cairan itu di kaki kanan saya yang bermasalah.

Saya pun masih dapat melanjutkan perjalanan. Kami tiba di Pos Payangcangan Kuda pada saat hari mulai gelap. Dari Pos Payangcangan Kuda ke Pos Lapor Cibodas berjarak sekitar 2 Km. Jalur mulai bersahabat terlebih saat melintasi Jembatan Gayonggong.

Setelah Jembatan Gayonggong masih ada satu pos lagi yaitu Telaga Biru. Tidak ada satu orang pun yang istirahat disana saat kami tiba. Kami terus melangkah, berharap segera selesai pendakian ini.

Jam 7 malam, kami akhirnya sampai di Pos Lapor Cibodas. Alhamdulillah. Beberapa rekan kami telah tiba lebih dahulu. Kini saatnya menunggu rekan yang berada di belakang. Lalu datanglah seorang diantaranya yang memberi kabar bahwa rekan kami ada yang mengalami cedera dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Kami segera melapos ke petugas dan dengan sigap 4 orang petugas menjemput kawan kami itu dengan membawa tandu.

Singkat cerita (padahal udah panjang banget) kami semua telah tiba dengan selamat di Pos Lapor Cibodas.

Usai makan malam dan melapor kepada petugas bahwa semua anggota lengkap, kami diperkenankan keluar dari area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kami berjalan menuju Pasar Cibodas dimana bus yang kami sewa telah menunggu. 3 jam perjalanan, kami tiba kembali di Alamanda Tower. Office Sweet Office.

About Author

client-photo-1
M. Catur Nugraha
Masih bekerja sebagai Naval Architect Engineer di salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konstruksi bangunan lepas pantai sejak tahun 2012. Kecintaan kepada kampung halamannya membuat ia memutuskan untuk mendirikan Jelajah Sumbar dengan tujuan memperkenalkan keindahan Bumi Ranah Minang ke khalayak ramai dan mengajaknya untuk berkunjung ke Sumbar. Ia sangat menyukai traveling. Perjalanan yang paling ia senangi antara lain mendaki gunung, trekking ke air terjun, dan berkemah di pulau – pulau kecil. Ia juga gemar menuliskan cerita perjalanannya dan memotret obyek yang ditemuinya. Cita – citanya : menjadikan Sumatera Barat dan Wisata Padang sebagai salah satu destinasi pilihan favorit bagi wisatawan lokal maupun wisatawan Internasional.

Comments

February 9, 2018
Wah kalo sekarang cewe nya banyak gan
February 9, 2018
Matab gan lanjutkan . naik lagi

Leave a Reply

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.